Tujuan utama Perang Salib adalah merebut dan mempertahankan Jerusalem. Kini kota suci ini telah kembali ke pangkuan kaum muslimin. Selanjutnya, meskipun ada persamaan antara Perang Salib I dengan Perang Salib III, ada juga perbedaan-perbedaannya, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, pada Perang Salib I, Paus yang menjadi penggerak utama sekaligus dijadikan lambang dalam perang itu, sedangkan pada perang Salib III, penggerak utamanya adalah kaum politisi, yaitu raja-raja Eropa Barat. Kedua, pada Perang Salib I, faktor agama menjadi pendorong yang penting, sedangkan pada Perang Salib III, faktor agama bukan menjadi penyebab. Pada Perang Salib III banyak orang Eropa yang turut berperang agar terbebas dari kewajiban membayar pajak. Pada Perang Salib II, Louis VII bahkan membebankan pajak 10% kepada pemilik kendaraan yang tidak turut berperang. Demikian pula Philip Augustus dan Richard the Lion’s Heart, ia membebankan pajak–yang disebut “Dana Cukai Shalahuddin”–kepada ahli agama dan masarakat umum. Paus pun giat mengumpulkan “Dana Perang Salib” sambil mengeluarkan fatwa bahwa orang yang tidak mampu berperang harus memberikan dana, dan akan diampuni segala dosanya sebagaimana orang yang turut berperang. Kepada setiap penderma diberikan “Sertifikat Pengampunan”. Akhirnya, gereja menjadi sumber dana yang penting. Ketiga, pada Perang Salib I, jumlah tentara salib cukup besar. Mereka begitu serempak dan bersatu menghadapi tentara muslim Saljuq yang lemah dan berpecah belah, sedangkan keadaan pada Perang Salib III sebaliknya.
Orang-orang yang memimpin Perang Salib III adalah raja-raja Eropa terkenal: (1) Raja Jerman Frederik Barbarosa, (2) Raja Inggris Richard the Lion’s Heart, dan (3) Raja Prancis Philip Agustus. Yang paling menonjol dan enerjik adalah Frederik II yang memilih jalan darat menuju medan perang, menyeberangi sungai dekat Armenia, Ruha. Tetapi nasibnya malang, ia tenggelam ketika menyeberang. Karena tidak ada pelanjut kepemimpinan yang bisa diandalkan, sebagian besar tentaranya kembali ke Jerman.
Tentara Inggris dan Prancis yang bergerak menuju jalan laut bertemu di Saqliah. Richard menuju Cyprus kemudian ke Palestina, sedangkan Philip langsung ke Palestina, dan mengepung Akka dengan bantuan sisa-sisa tentara Frederik. Dalam pengepungan ini turut pula orang-orang Latindi Syam di bawah pimpinan Guys yang pernah mengadakan perjanjian damai dengan Shalahuddin. Berkat dukungan tentara Richard dan angkatan lautnya, Akka dapat direbut. Tentara Salib melakukan pembunuhan besar-besaran meskipun setelah itu tidak ada lagi serangan militer. Perang salib ini diakhiri dengan perjanjian Ramalah (1192) yang isinya menyisakan sedikit tanah untuk orang Kristen di pantai yang berdekatan dengan Akka–memanjang dari Sur sampai Haifa–membolehkan jemaah haji Kristen berziarah ke Yerusalem tanpa membawa senjata, dan Shalahuddin menguasai wilayah yang ditaklukannya termasuk Ludd, Ar-Ramlah, dan Asqolan.
Tidak lama kemudian, Maret 1193, Shalahuddin meninggal dunia setelah mengalami sakit di Damaskus dengan meninggalkan wilayah kekuasaan yang cukup luas. Qodi Ibnu Syaddad menggambarkan keadaan duka cita kaum muslimin, “Islam dan kaum Muslimin tidak mendapatkan musibah yang setara dengan wafatnya Shalahuddin semenjak mereka kehilangan Khulafa ar-Rasyidin?.”
Antara Perang Salib III dengan Perang Salib IV ada kondisi yang khas, yakni (1) gereja berusaha mengembalikan kepemimpinan, tetapi Henry VI, seorang politikus yang ulung, dapat mengganjal usaha ini; (2) perselisihan baru terjadi antara kalangan militer Latin di Syam; (3) di pihak Islam pun terdapat kelemahan, karena Shalahuddin, sebelum wafatnya, telah membagi-bagikan wilayah kekuasaan kepada para pelanjutnya. Damaskus dan bagian selatan Syria diserahkan kepada Al-Malik al-Afdal (1193-6), Mesir kepada Al-Malik al-Sahir (1993–1215); sedangkan saudara Shalahuddin, Al-Malik al-’Adil, memperoleh Karak, Jordan, Jazirah, dan Diyar Bakr–nampaknya wilayah terakhir ini kurang penting sehingga kurang menyenangkan Al-’Adil. Keluarga Al-Ayubi lainnya juga mendapat warisan daerah kekuasaan sampai Jazirah Arabia dan Yaman. Akhirnya, terjadi perselisihan antara putra-putranya dan Al-’Adil, diakhiri dengan kemenangan Al-’Adil terhadap keponakan-keponakannya itu (1199–1218). Demikianlah peta pembagian kekuasaan sampai datang serangan Mongol (1260).
Perang Salib IV (1202–1204)
Pada masa Paus Innocent III, gereja tetap mengobarkan kembali perang Salib. Dalam hal semangat dan kepemimpinan, perang ini bercorak Prancis seperti Perang Salib I. Target perang ini diarahkan ke Mesir, dengan pertimbangan: (1) kekuatan Islam sudah beralih ke Mesir, karena itu Mesir harus dikuasai dulu; (2) penaklukan Mesir akan membawa keuntungan perdagangan untuk para pedagang Italia–jika langsung menguasai Jerusalem, orang Mesir akan melakukan tindakan pembalasan terhadap para pedagang di Delta Nil, Dimyat, dan Alexanderia.
Ketika tentara Salib di Venice (1202) bersiap hendak menuju Mesir, tiba-tiba semua pasukan diperintahkan untuk menyerang Konstantinopel pada bulan Juli 1203, dan merebutnya pada bulan April 1204. Setelah itu, Baldwin VII diangkat sebagai Emperor Latin I di Konstantinopel. Kekuatan ini berkuasa selama 60 tahun.
Perang Salib V (1218–1221)
Perang Salib ini merupakan lanjutan Perang Salib I dan IV, dengan sasaran utamanya Mesir. Saat itu Mesir berada di bawah Pemerintahan Al-Malik al-’Adil, yang meninggal dunia (1218) setelah tentara Salib menguasai menara Al-Silsilah. Al-Malik kemudian digantikan oleh putranya Al-Malik al-Kamil (1218–1238).
Al-Malik al-kamil menghadapi gangguan dari dalam, yaitu konspirasi yang dipimpin oleh seorang panglima yang berasal dari Kurdi, Ibn Masytub, yang hendak menyisihkannya. Ia lalu melarikan diri ke Yaman. Namun Karena bantuan adiknya, Al-Malik Mu’azzam dari syam, ia bisa kembali menduduki tahta kesultanan Mesir. Tantangan dari luar–selain dari tentara Salib–adalah tentara Mongol yang mulai menguasai dunia Islam bagian Timur, Khawarizami, negeri-negeri Transoxiana, dan sebagian negeri Persia pada tahun 1220. Serangan Mongol ke Baghdad pun dimulai.
Kedudukan tentara Salib sebenarnya baik karena banyaknya rombongan besar menggabungkan diri atas seruan Paus Innocent III yang dilanjutkan oleh Paus Honorius III. Raja Juhanna de Brienne dan Wakil Paus, Plagius, memimpin pasukan ini. Dimyat bisa segera mereka kuasai pada tahun 1218. Namun, serangan belum dilanjutkan menuju Kairo karena menunggu bantuan Frederik II dalam perajalanan untuk menopang serangan selanjutnya.
Karena situasi yang mencekam, sebagaimana digambarkan di atas, ditambah situasi ekonomi yang sulit, terutama karena surutnya sungai Nil, Mesir diancam bahaya kelaparan. Al-Kamil pun mengajukan permintaan perdamaian. Ia mengajukan tawaran menyerahkan Jerusalem dan hampir semua kota yang ditaklukan Shalahudin kepada pihak Salib asalkan mereka (pihak Salib) menarik diri dari Dimyat. Tawaran yang begitu menguntungkan pihak Salib itu ditolak, bahkan mereka akan menguasai seluruh Mesir dan Syam. Penolakan ini terutama dikemukakan oleh utusan Paus, Pelagius, yang ditopang oleh Italia, karena kepentingan perdagangannya terancam di Mesir. Tidak ada pilihan bagi Al-Kamil: hancur atau menang. Timbullah ide yang kemudian dilaksanakannya, yaitu menghancurkan dam-dam irigasi yang menuju Dimyat. Akhirnya banjir pun melanda seluruh Dimyat. Banyak tentara Salib yang tenggelam. Mereka terancam bahaya kelaparan. Karena bantuan Frederik II yang diharapkan tak kunjung datang, tentara Salib pun meninggalkan Dimyat tanpa syarat.