Sabtu, 09 November 2013

Hikmah di Balik Kisah Nabi Khidir





Pada era kerasulan Musa, hidup seorang nabi bernama Khidir. Asal usulnya tak jelas. Ada yang mengatakan, ia merupakan keluarga Dzulqarnain, ada pula yang mengatakan, ia keturunan bangsa Persia dan Romawi. Beberapa menyebut, Khidir merupakan nama julukan dari pria kalangan biasa bernama Balya bin Malkan.

Entah siapa Khidir tersebut, sosoknya begitu misterius. Ia pun dikisahkan dalam sebuah perjalanan Musa yang penuh hal ajaib, luar biasa, dan tentunya penuh misteri.

Suatu hari, seorang dari Bani Israil menemui Musa dan kemudian bertanya, “Wahai Nabiyullah, adakah di dunia ini orang yang lebih berilmu darimu?” ujarnya. Tersentak, Nabi Musa pun jelas menjawab, “Tidak.” Tentu saja, siapa yang mampu menandingi ilmu Musa, utusan Allah kala itu. Sumber tuntunan agama dan sumber pengetahuan wahyu Allah ada di genggaman Musa. Ia memiliki Taurat dan beragam mukjizat dari-Nya.

Namun, rupanya Allah memiliki hamba lain selain Musa yang lebih berilmu. Allah pun mewahyukan pada Musa bahwa tak seorang pun di muka bumi yang mampu menguasai semua ilmu. Tak hanya Musa, di belahan bumi lain pun terdapat seorang yang memiliki ilmu luar biasa.

Ilmu itu tak dimiliki Musa sekalipun. Orang itu juga seorang nabi. Mengetahui hal tersebut, sontak Musa pun ingin berguru pada orang tersebut. Ia bersemangat ingin menuntut ilmu dan menambah pengetahuanya.

“Ya Allah, di mana orang ini bisa saya temui? Saya ingin bertemu dengannya dan belajar darinya,” tanya Musa antusias. Nabi Musa sendiri dikenal dengan keistimewaan sebagai nabi yang bisa berbicara langsung dengan Allah tanpa perlu perantara malaikat. Allah pun menunjukkan sebuah tempat di mana Musa dapat menemui orang berilmu tersebut.

Di pertemuan antara dua lautan, demikian lokasi ahli ilmu itu. Agar lebih yakin dan tak salah mengenali orang, Musa pun meminta tanda identitas orang tersebut. Allah pun memerintahkan Musa membawa seekor ikan dalam wadah berisi air. Ikan tersebut akan menunjukkan arah di mana keberadaan sang ahli ilmu Khidir.

Berangkatlah Musa menyusuri lautan, mencari keberadaan Khidir. Ia ditemani muridnya yang terkenal setia Yusya bin Nun. Yusya lah yang membawa bejana berisi ikan yang akan menghantarkan Musa pada Khidir.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, keduanya tak juga menemukan Khidir. Meski lelah, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. “Aku tak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun,” ujar Musa pada Yusya.

Perjalanan telah jauh, tapi Khidir tak juga dijumpai. Musa pun memutuskan untuk sejenak beristirahat di sebuah batu besar di tepi sungai. Kelelahan, Musa pun tertidur. Saat Musa terlelap, Yusya melihat ikan dalam bejana tersebut meloncat keluar dari bejana ke arah sungai. Tapi, Yusya lupa mengabarkannya pada Musa. Saat Musa bangun, keduanya pun melanjutkan perjalanan tanpa ingat panduan sang ikan.

Pejalanan melelahkan keduanya hingga mereka merasa lapar. Ketika Musa menanyakan bekal untuk makan, Yusya baru teringat pada si ikan. “Saat kita istirahat di batu tadi, sungguh aku benar-benar lupa mengabarkan tentang ikan itu.

Tidaklah yang melupakanku untuk mengabarkannya padamu kecuali syaitan. Ikan itu kembali ke laut dengan cara yang aneh sekali,” ujar Yusya. Musa pun langsung mengetahui itu adalah sebuah tanda, “Itulah tempat yang kita cari,” ujar Musa bersemangat.

Lupa sudah rasa lapar tadi, keduanya pun kembali ke arah semula tempat mereka beristirahat. Sampailah mereka pada tempat yang mereka tuju dan bertemu sosok pria yang wajahnya tertutup sebagian oleh kudung. Sikapnya tegas menunjukkan kesalehannya. Pria itulah Khidir. “Bolehkah aku mengikutimu agar kau bisa mengajarkanku sebagian ilmu di antara ilmu-ilmu yang kau miliki?” ujar Musa kepada Khidir.

Apa jawab Khidir kepada Musa? “Sungguh kau tak akan sanggup untuk sabar jika bersamaku. Bagimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang itu,” kata Khidir.

Bukan Musa kalau langsung patah semangat dengan penolakan halus itu. “Insya Allah, kau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar. Aku tak akan menentangmu dalam urusan apa pun,’” ujarnya. Mendengar ketekadan hati Musa, Khidir pun akhirnya mengizinkan Musa mengikutinya. Tapi, dengan syarat, “Jika kau mengikutiku, jangan menanyakan suatu apa pun padaku sampai aku yang menerangkannya padamu,” kata Khidir.

Musa girang dapat mengikuti Khidir. Artinya, ia dapat menuntut ilmu dari Khidir. Pergilah Khidir dan Musa menumpang sebuah perahu. Tapi, ketika perahu itu hampir mendarat, Khidir melubangi perahu tersebut. Musa kaget, ia pun berkata, “Mengapa kau lubangi perahu ini. Kau akan membuat penumpang tenggelam. Kau telah melakukan sebuah kesalahan besar.”

Khidir hanya menjawab, “Bukankah aku telah berkata bahwa kau tak akan sabar bersamaku.” Musa pun teringat janjinya tak akan menanyakan apa pun. Ia pun menyesali ucapannya. “Jangan hukum aku atas lupaku dan jangan bebani aku dengan kesulitan urusan,” kata Musa.

Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak. Mengagetkan, Khidir kemudian membunuhnya. Musa yang sifatnya spontan langsung bereaksi. “Mengapa kau bunuh jiwa yang bersih? Dia tak membunuh orang lain. Sungguh, kau melakukan suatu yang mungkar,” protes Musa.

Lagi-lagi, Khidir hanya menjawab, “Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa kau sungguh tak akan sabar bersamaku?” Musa pun kembali teringat janjinya. Dia pun memendam rasa amarah sekaligus herannya atas kelakuan Khidir. “Jika setelah ini aku bertanya kembali padamu, jangan kau izinkan aku lagi mengikutimu. Sungguh, kau cukup memberiku uzur,” kata Musa.

Perjalanan keduanya dilanjutkan. Tibalah mereka di sebuah negeri. Tapi, tak ada satu pun penduduk negeri yang berkenan menjamu mereka. Lagi, Khidir melakukan perbuatan yang tak masuk akal bagi Musa. Kali ini khidir tidak melakukan perbuatan mungkar di negeri tersebut, ia justru memperbaiki dinding sebuah rumah yang hampir roboh. “Jika kau mau, kau dapat mengambil upah karena telah memperbaiki itu,” ujar Musa.

Lupa sudah Musa akan tekadnya untuk diam tak mengomentari ulah Khidir. Sesuai ucapan Musa, ia pun tak lagi mendapat pengecualian. Sudah tiga kali Musa mempertanyakan sikap Khidir. “Inilah perpisahanku denganmu,” kata Khidir.

Sebelum berpisah, Khidir pun menjelaskan maksud dibalik perbuatan yang Musa tak sabar atasnya. “Aku akan memberitahu tujuan perbuatanku. Perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut. Aku merusak perahu mereka karena mereka dihadapkan pada seorang raja yang merampas setiap perahu,” kata Khidir.

Betapa ilmu Khidir benar-benar luar biasa. Ilmu tersebut membuatnya sangat bijak. Bayangkan jika Khidir tak melubangi perahu itu, orang miskin tersebut akan kehilangan tak hanya perahu, tapi juga mata pencaharian mereka. Dengan perahu yang berlubang, raja lalim mana yang suka untuk mengambilnya.

Itu baru satu kisah. Kisah selanjutnya, Khidir menjelaskan, “Adapun anak itu, kedua orang tuanya merupakan Mukminin. Kami khawatir, dia akan mendorong kedua orang tuanya pada kesesatan dan kekafiran. Dan, kami menghendaki supaya Rabb mengganti anak lain untuk mereka yang lebih baik, suci, dan lebih sayang pada ibu bapaknya,” ujar Khidir.

Tahulah Musa bahwa ilmu yang dimiliki Khidir benar-benar luar biasa. Ia mengetahui hal misterius dan mengambil kebijaksanaan atasnya. Kisah terakhir, “Dinding rumah itu merupakan milik dua anak yatim di negeri tersebut. Di bawahnya tersimpan harta benda simpanan sang ayah untuk keduanya. Ayahnya adalah seorang yang shalih. Rabbmu menghendaki agar mereka sampai dewasa dan mengeluarkan simpanan itu sebagai rahmat Rabbmu,” jelas Khidir.

Terjawablah semua pertanyaan Musa atas sikap Khidir. Musa pun kagum dengan ilmu yang diajarkan Allah kepada Khidir. “Tidaklah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri,” pungkas Khidir yang menunjukkan betapa dia memiliki ilmu yang luar biasa dari rahmat Allah.

Perjalanan Musa dan Khidir tersebut dikisahkan dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 60 hingga 82. Rasulullah pun mengisahkannya dalam sebuah hadis riwayat Ubai Ibn Ka’ab yang tercantum dalam Shahih Al Bukhari. Ibnu Katsir menjelaskan kisah dengan rinci melalui hadis tersebut.

Di akhir hadis, Rasulullah bersabda, “Kami berharap, Musa dapat sabar dengan kebajikan yang mana Allah mungkin akan memberitahu kami lebih banyak tentang kisah ini. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Musa,” sabda Rasulullah.

Adapun dalam al-kitab atau Injil Perjanjian Lama, tokoh Khidir tak disebut-sebut meski kisahnya terjadi di masa Bani Israil. Tapi, beberapa dari cendekiawan Bani Israil menganggap, Khidir merupakan Elia atau Ilyas. Beberapa mereka juga mengenal Khidir dengan sebutan St George. Dalam buku Mystical Dimensions of Islam karya Annemarie Schimmel, kisah Khidir termasuk di dalamnya dan disebut sebagai sosok yang kekal dan belum wafat hingga kini sebagaimana Nabi Isa.

Tapi, legenda mengenai kekalnya Khidir tersebut tampaknya hanyalah dongeng belaka. Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Manarul Munif fil Hadits-Shahih wa Dhaif menyebutkan bahwa tak ada riwayat shahih yang menyebut bahwa Khidir masih hidup.

Hikmah di Balik Kisah Nabi Khidir

Terdapat banyak hikmah dari kisah Khidir , salah satunya, yakni menuntut ilmu. Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan perkara wajib. Tampak dalam kisah betapa Nabi Musa sangat antusias menuntut ilmu. Bahkan, meski kedudukannya saat itu merupakan nabi ia tak segan untuk terus menuntut ilmu.

Beliau bahkan bersedia menempuh perjalanan panjang demi bertemu sang guru. Beliau yang berstatus tinggi sebagai nabi, bahkan bersedia merendahkan diri dihadapan sang guru. Alasannya, karena ilmu memiliki kedudukan tinggi dalam Islam.

Allah berfirman dalam surah al-Mujadilah ayat 11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu (agama) beberapa derajat.” Banyak ayat yang menyatakan keutamaan ilmu dan kewajiban menuntutnya. Dalam hadis, Rasulullah pun sering mengingatkan umatnya untuk menuntut ilmu. Beliau pun menyatakan keutamaan ilmu bagi para Muslimin.

Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abud Darda menceritakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu.

Dan, sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan, sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak.”

Jumat, 08 November 2013

Syukur adalah Obat Penyakit



Ini adalah suatu kisah penuh hikmah yang sangat menarik untuk kita ambil hikmahnya. Cerita ini adalah cerita orang sakit bisa sembuh hanya karena rasa syukur kepada Allah. Padahal sebelumnya dia telah berobat ke dokter namun tak sembuh-sembuh. Penyakit apa itu? Memang biasanya segala penyakit fisik adalah timbul dari kelemahan jiwa kita dan faktor utama bukan berasal dari virus dan sebagainya. Mari kita simak untuk lebih jelasnya.

Pak Hasan, adalah jama’ah dari embarkasi Surabaya. Ia dan istrinya berangkat ke Mekkah kebetulan pada tahap gelombang kedua. Artinya mereka datang dari Indonesia langsung ke Mekkah terlebih dahulu, baru kemudian ke Madinah. Kondisi pak Hasan ketika berangkat memang agak sakit. Batuk pilek setiap hari. Sampai dipakai berbicara saja tenggorokannya sudah terasa sakit. Batuk pilek yang semacam itu memang membuat badan begitu capek lunglai. Semua persendian terasa sakit. Sehingga menjadikan tubuh menjadi malas untuk diajak beraktivitas.

Beberapa kali pak Hasan diobati oleh dokter kloternya. Tetapi tetap saja sakitnya tidak bisa sembuh. Rasanya semua macam obat yang berhubungan dengan penyakitnya sudah ia minum. Tetapi tetap saja badan lunglai, kepala pusing bahkan batuknya tidak pernah berhenti. Badan dengan kondisi semacam itu, mengakibatkan pak Hasan sehari-harinya berdiam diri saja di hotel. Beberapa kali istrinya mengajaknya ke masjidil Haram, tetapi rupanya tubuh pak Hasan tidak bisa diajak kompromi, ia malas untuk pergi ke masjid.

“Aku belum bisa bu, dan belum kuat untuk pergi ke masjid. Ibu dulu aja-lah. Nanti setelah badanku sembuh aku akan ke masjid dan akan melakukan ibadah dengan sebaik-baiknya…” demikian kata pak Hasan kepada istrinya. Karena sudah beberapa kali, jawaban pak Hasan selalu seperti itu, maka pada hari itu istri pak hasan memohon dengan agak setengah memaksa kepada pak Hasan agar siang itu mereka bisa bersama ke masjid untuk melakukan ibadah. Baik itu thawaf, maupun shalat-shalat wajibnya.

Maka dengan agak terpaksa, berangkat juga mereka ke masjid. Pak Hasan di sepanjang perjalanan menuju masjid tiada henti-hentinya batuk. Bahkan kakinya begitu capek dipakai untuk berjalan. Tetapi toh, akhirnya sampai juga mereka di masjidil Haram. Meskipun jarak dari maktab mereka menuju masjid cukup jauh. Sesampai di masjid, mereka mencari tempat yang cukup nyaman. Pak Hasan dan istrinya melakukan thawaf sunah sebagai penghormatan masuk masjidil Haram, sebelum mereka melakukan ibadah lainnya.

Ketika pak Hasan dan istrinya melakukan thawaf inilah bagian dari cerita ini dimulai…
Dengan terbata-bata, dan masih digandeng oleh istrinya pak Hasan mulai melakukan thawaf. Diayunkannya kaki kanannya untuk memulai thawaf. “Bismillaahi allaahu akbar…!”
Demikian kalimat pertama yang dilontarkan pak Hasan sebagai pertanda ia memulai thawafnya. Maka dengan hati-hati sekali, karena khawatir badannya bertambah lunglai, pak Hasan melangkahkan kakinya berjalan memutari Ka’bah. Pada saat pak Hasan beberapa langkah memulai thawafnya itu, tiba-tiba di sebelah kanannya, yang hampir berhimpitan dengan pak Hasan, ada seorang bertubuh kecil yang juga bergerak melakukan thawaf, beriringan dengan pak Hasan. Entah apa yang menyebabkan pak Hasan tertarik dengan orang ‘kecil’ itu, sambil berjalan lambat pak Hasan memperhatikan orang itu lebih seksama.

“Mengapa orang itu tubuhnya pendek, bahkan cenderung seperti anak kecil ?” pikirnya.
Setelah beberapa lama pak Hasan memperhatikan orang tersebut, di tengah riuhnya para jamaah yang juga sedang melakukan thawaf itu, tiba-tiba pak Hasan menjerit lirih ! ” …………….akh ! ” katanya.
Begitu terkejutnya pak Hasan, sampai-sampai pak Hasan agak terhenti langkahnya. Anehnya, orang itu pun ikut berhenti sejenak, kemudian menoleh kepada pak Hasan sambil tersenyum. Ketika pak Hasan berjalan lagi, dia pun berjalan lagi, dan terus mengikuti di samping pak Hasan. Ketika pak Hasan mempercepat langkah kakinya, orang itu pun ikut mepercepat gerakannya, sehingga tetap mereka berjalan beriringan.

Muka pak Hasan kelihatan pucat pasi. Bibirnya agak gemetar menahan tangis. Ia betul-betul terpukul oleh perilaku orang tersebut. Seperti dengan sengaja, orang itu terus mengikuti gerakan pak Hasan dari samping kanan. Bahkan yang membuat pak Hasan mukanya pucat adalah orang tersebut selalu tersenyum, setelah menoleh ke arah pak Hasan.

Siapakah orang tersebut ?

Ternyata dia adalah seorang yang berjalan dan bergerak thawaf mengelilingi ka’bah dengan hanya menggunakan kedua tangannya saja. Dia orang yang tidak memiliki kaki….!
Kedua kakinya buntung sebatas paha. Sehingga ia berjalan hanya dengan menggunakan kedua tangannya. Bulu kuduk pak Hasan merinding, jantungnya seolah berhenti berdegub. Keringat dingin membasahi seluruh pori-pori tubuhnya… Pak Hasan merintih dalam hatinya :

“…ya Allaah ampuni aku ya Allaah…, ampuni aku…”
Air mata pak Hasan tidak bisa dibendung lagi. Sambil tetap berjalan pak Hasan terus mohon ampun kepada Allah. Tanpa terasa, pak Hasan sudah memutari ka’bah untuk yang ke 2 kalinya. Dan pak Hasan pun masih terus menangis. Ingin rasanya ia berlari memutari ka’bah itu. Ingin rasanya ia menjerit keras-keras untuk melampiaskan emosinya….pak Hasan tidak tahu bahwa pada putaran yang kedua itu ia sudah tidak bersama lagi dengan orang tanpa kaki tersebut. Tidak tahu ke manakah perginya orang cacat itu.

Seorang yang selalu tersenyum meskipun tanpa kedua kaki.
Apa gerangan yang dipikirkan pak Hasan saat itu ?  Pak Hasan begitu malu pada dirinya sendiri! Apalagi kepada Allah Swt. Pak Hasan merasa bahwa memang sakit. Sakit flu, batuk, badan capek. Dan sudah beberapa hari berdiam diri saja di hotel tidak ke masjid untuk thawaf. Dengan alasan badan capek, tenggorokan sakit, bahkan obat dokter tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Sekarang, ditengah-tengah hiruk pikuknya para jama’ah yang sedang melakukan thawaf, ternyata ada seorang yang tidak punya kaki, yang kondisi tubuhnya sangat menyedihkan, tapi dengan mulut tersenyum ia melakukan thawaf…

Akh ! ….betapa terpukulnya harga diri pak Hasan.
Ia punya kedua kaki, badannya tegap, pikirannya cerdas, datang jauh dari Indonesia, tetapi terserang penyakit ringan sejenis flu saja sudah tidak mau beribadah ?
Sementara orang itu…..

Sungguh pak Hasan tidak kuasa bicara lagi. Ingin rasanya ia menjerit mohon ampunan Allah Swt…. Atas kesalahan fatal, yang ia lakukan. Dan sejak saat itu, pak Hasan tiba-tiba dapat bergerak gesit. Ia berjalan penuh dengan semangat mengelilingi ka’bah pada putaran-putaran berikutnya. Dan secara tidak ia sadari badan pak Hasan menjadi kuat. Ia tidak batuk-batuk lagi, bahkan tenggorokannya terasa begitu ringan, ketika dipakai untuk berdo’a kepada Allah…!
Istri pak Hasan yang berjalan di samping pak Hasan, tidak mengetahui secara detail, apa yang terjadi dalam diri pak Hasan. Yang ia tahu tiba-tiba pak Hasan tidak batuk lagi, jalannya tidak lamban, bahkan cenderung gesit. Ah, rupanya pak Hasan sudah sembuh, Ia disembuhkan oleh Allah lewat ‘peragaan’ orang cacat, yang selalu tersenyum meskipun ia tidak punya kaki. Obat dokter tidak bisa menyembuhkan pak Hasan, justru thawaf seorang cacat-lah, yang menjadi obat mujarabnya.. Mengapa bisa demikian ?

Sebab begitu pak hasan menyadari akan kesalahannya, ia langsung mohon ampun sejadi-jadinya atas kekeliruan yang telah ia lakukan. Penyesalan yang tiada terhingga itulah rupanya obat yang sesungguhnya.(QS. Hud (11) : 3)
 ”Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat. (QS. Hud (11) : 90)

"Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Penyasih." [QS. Huud: 90]

Sembuhnya pak Hasan, karena rasa penyesalan yang mendalam. Sembuhnya pak Hasan karena ia bertaubat pada saat itu juga. Sembuhnya pak Hasan, karena Allah Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu itu telah meridhainya. Sembuhnya pak Hasan karena Allah memberikan sebuah obat berupa sebuah adegan atau suguhan menarik, yang sangat mempengaruhi jiwa pak Hasan.

”dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”. QS. Asy-Syuaraa’ (26) : 80-82

Kesimpulan dan pelajaran

Kita sering mengeluh dengan keadaan kita karena kita tidak mampu memandang sekitar kita, pikiran kita sempit karena apa yang ada diri kita selalu dicerminkan kepada orang yang lebih daripada kita misalnya orang sakit yang memandang orang sehat sehingga tidak mau bersyukur dengan keadaan yang ada pada dirinya, akhirnya berawal dari ketidak mau bersyukur itu timbulah rasa malas, rasa rendah diri, tidak punya kepercayaan diri dan sebagainya.  Dan lebih parah kita sering mengeluh kepada Allah. Padahal Allah tidak memberi ujian melebihi kemampuan orang. Dan Allah tidak memberikan ujian melainkan supaya kita menjadi orang yang lebih kuat secara spiritual. Dan kuatnya spiritual/keimanan adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat.

Berbeda keadaan jika kita bisa memandang sekitar kita yang lebih buruk keadaannya daripada kita. Misalnya orang sakit memandang orang cacat tadi. Sehingga kita bisa berpikir orang yang lebih buruk keadaannya daripada kita saja kita bisa melakukannya mengapa kita yang lebih baik keadaanya tidak bisa melakukannya. Dari hal itu akan timbul rasa syukurnya kepada Allah bahwa dia masih dikarunai nikmat yang lebih baik daripada orang lain, rasa syukur akan menimbulkan semangat yang besar sehingga yang lemah akan menjadi kuat, yang sakit bisa jadi sehat, yang bodoh akan menjadi pandai, yang miskin bisa berhasil jika mau berusaha, yang malas menjadi rajin dan sebagainya.  

Memanglah sebagai manusia kita harus sadari kekurangan kita yang selalu “mendongak keatas dan tidak pernah memandang kebawah” atau selalu memandang orang yang lebih baik daripada kita dan jarang sekali melihat orang yang kemampuannya dibawah kita, sehingga kita merasa kecil dan rendah diri dihadapan manusia. Tidak bersyukur dengan apa yang ada.

Ingatlah bahwa Rasulullah saw pernah bersabda “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan Sesungguh syukur mendatangkan nikmat yang banyak dan kufur mendatangkan azab yang pedih. Kekufuran berangkat dari mengeluh daripada apa yang Allah karuniakan kepada kita tidak mau bersyukur dengan apa yang ada, selalu menuntut keadaan. Allah berfirman : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Ibrahim ayat 7)
Wallahu’alam

Padahal Allah telah menutup aib kita dengan baik




Padahal Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Apalagi dengan sosial media yang telah menjadi santapan sehari-hari. Allah telah menetapkan syariat dengan begitu sempurna. Termasuk tentang pernikahan. Bahwa, "rahasiakan pinangan, umumkanlah pernikahan"*. Lagi-lagi untuk menjaga diri (terutama si wanita) dari fitnah yang mungkin terjadi di kemudian hari, atas suatu kondisi yang kita tak bisa memberikan jaminan apa-apa.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa sedang berduaan dengan pacar, sms rindu bermesraan dengan seorang yang belum halal untuknya, berkhalwat, saling menggenggam, berpandangan, dan sebagainya. Dinding facebook dan timeline twitter penuh. Dengan ringannya disampaikan kepada khalayak. Mungkin, dianggap sebagai kebanggaan, pamer, atau sejenisnya. Entahlah. Sayangnya, tidak banyak yang mengamalkan ilmu yang mungkin sudah diketahui (apalagi yang tidak tahu), bahwa berkhalwat dan bermesra dengan lawan jenis bukanlah suatu 'aktivitas' yang membuah berkah, melainkan justru semakin mengurangi keberkahan. Semakin lama proses itu terjadi, sebelum menjadi halal, maka semakin banyak saldo berkah yang berkurang. Dan padahal, Allah telah menutup aibnya itu, memberi kesempatan menyegera proses ke-halal-an, tanpa diketahui 'aktivitas tak halal' yang telah dilakukannya selama ini.

Padahal, Allah telah menutub aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa tak mengapa sih, saya pikir, wajar, ketika seorang wanita berada dalam masa menanti. Menanti sesiapa yang akan menjemput meminangnya. Wajar juga, ketika seorang pria berada dalam masa menunggu, menunggu sesiapa yang dirasa pantas tuk dipinangnya. Namun, alangkah cantiknya, ketika itu terbungkus (saja) dalam doa. Doa dalam derai air mata, di tengah gelap malam khusyu'. Dalam tenang, memohon pertemuan indah dengan belahan jiwa. Bukan diumbar dalam kata dan kalimat "pengharapan" yang bukan ditujukan pada Allah, tapi terkesan, pengharapan pada manusia.Kegalauan yang tak bertepi.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Bahwa tidak boleh seorang istri mengumbar aib suami kepada orang lain. Mengumbar kesalahan, kegagalan dalam keluarganya, kepada orang lain. Bukan untuk mencari solusi, tapi hanya niat mengeluh. Buktinya, disampaikan ke tempat umum. Bukan sendiri sembunyi meminta nasehat pada yang ahli, malah diumbar tak mengarah, hingga justru tambah parah.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak. Perilaku anak yang kita rasa tak pantas, bukannya diikat dengan nasehat, malah disumbar koar-koar. Ke tetangga kanan kiri, kompleks depan kompleks belakang. Niatnya sih, mencari solusi, mungkin ada yang punya pengalaman sama. Tapi jatuhnya pada keluh. bahkan menjadi doa yang didengar dan diamini oleh yang dikisahi. Jika perkataan kita kepada anak saja adalah doa, apalagi, ditambah diamini orang lain.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak.

Di atas, hanya sebagian. Bahwa masih banyak yang mendapati hal serupa. Di banyak aspek. Seringnya lupa, bahwa aib tak boleh disebar. Seringnya lupa, bahwa kata bisa menjadi doa. Seringnya lupa, bahwa Allah melarangnya.

Padahal, Allah telah menutup aib kita dengan baik. Namun, justru terkadang kita lah yang mengumbarnya ke khalayak.

Berhati-hatilah berucap. Berhati-hatilah berkicau..
Banyak bicara, banyak peluang salah
Meski bisa jadi juga, peluang kebaikan juga makin banyak

Maka semua butuh ilmu. Agar yang tersampai tak mubadzir. Agar yang tersampai tak mendzalimi. Agar yang tersampai tak menyakiti. Dan agar yang tersampai, tak mengumbar aib. Karena Allah, sangat menyayang diri. Ditutupnya aib hingga bisa jadi, diri nampak lebih daripada yang sesungguhnya. Ditutupnya aib, hingga bisa jadi, orang masih mau mendengar apa yang kita sampaikan. Ditutupnya aib, karena Allah mengingin, kita membaik tanpa didatang cela tak laik.

Maka, semua butuh ilmu. 

Dan karena sedikitnya ilmu saya, dan agar tak menyakit pula mubadzir, saya sudahi saja kicauan ini. Hanya rehat, mungkin renungan. Khususnya buat diri, dan mungkin yang merasa teringati. Semoga tak ada yang terdzalimi. Maafkan saya yang tiada santun ini. Trimakasih.. :D


Rabu, 06 November 2013

Hikmah Sholat Tahajud




Adapun hikmah sholat tahajjud bagi orang yang mau mengerjakannya adalah:
     Akan menjadikan pelakunya memiliki sifat rendah hati.
Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
“dan hamba- hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan sujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.
     Hikmah kedua akan menjadikan pelakunya orang yang selalu mensyukuri nikmat Allah azza wa Jalla, sebagaimana yang telah diterangkan di dalam hadist Nabi Saw, yang artinya; ” Sungguh Rosulullah SAW berdiri dan sholat hingga kedua telapak kakinya atau kedua betisnya bengkak, maka jawabnya: “ bukankah aku ini seorang hamba yang banyak barsyukur”. ( HR. Jam’ah kecuali Imam Abu Daud, yang bersumber dari al- Mughirah bin Syu’bah R.A)
     Hikmah yang lain adalah dapat melepaskan simpul godaan syaitan (mengusir syaitan) serta manjadikan badan segar dan penuh semangat , Sebagaimana sabda Nabi yang artinya: “ pada waktu seseorang tidur, syaitan membuat tiga buah simpul di kepalanya. Untuk setiap ia mengatakan: “tidurlah engkau sepanjang malam, bila ia terbangun, lalu, maka lepaslah satu simpul, jika ia berwudhu maka lepaslah satu simpul lagi, dan jika ia sholat maka terbukalah seluruh simpul. Pada waktu bangun lagi, ia akan merasa penuh  semangat dengan badan yang segar. Jika tidak, ia akan bangun pagi dengan perasaan serba tak enak dan malas. “( HR. Imam Bukhari, dari sahabat Abu Hurairah R.A)

Sholat tahajjud dikerjakan pada waktu malam hari setelah sholat isya’ sampai terbit fajar(masuknya waktu sholat subuh). Namun dalam sepanjang malam itu terdapat bagian- bagian malam yang sangat mustajab, malam yang sangat utama mengerjakan sholat tahajjud, yaitu sepertiga malam yang terakhir, kira-kira mulai pukul satu sampai terbit fajar.
Sebagaimana sabda Nabi:”Tuhan kami turun ke langit dunia, ketika sepertiga malam yang terakhir, kemudian berfirman :”siapakah yang berdo’a pada-Ku pasti Aku kabulkan, siapa yang meminta pasti Aku beri, siapa yang mohon ampun pasti Aku ampuni, sampai terbit fajar”.

Semua butuh waktu

“Ayah, saya ingin mangga yang dipetik dari pohon sendiri.” Kata seorang anak kepada ayahnya.
“Kalau begitu kamu harus menanamnya, nak!” kata ayahnya.
“Baiklah ayah, apakah lusa saya bisa memetiknya?” kata anaknya penuh harap.
“Anaku sayang, kamu harus menunggu bertahun-tahun untuk memetik mangga yang kamu tanam. Itulah sunatullah. Semuanya butuh waktu. Bersabarlah”

Kisah Hikmah: Jangan Dekati Zina, Zina adalah Hutang


Zina adalah utang…, taruhannya adalah keluarga anda. Lelaki yang berzina dengan wanita, sejatinya dia telah mencabik-cabik kehortaman semua lelaki kerabat wanita ini.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Kita awali dengan sebuah kisah. Kisah nyata yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa kesalahan manusia tidak akan disia-siakan, semua tinggal menunggu balasan.

Tersebutlah dua orang pemuda…(sebut saja: Qird dan Kalb). Keduanya akrab karena sama-sama rajin maksiat. Saling membantu untuk berpetualang di dunia gemblung (dugem). Celakanya, keduanya telah menikah.
Suatu ketika, Qird melakukan perjalanan. Setelah berinteraksi dengan orang sekitar, dia berkenalan dengan seorang wanita. Terjadilah hubungan gelap diantara mereka. Qird berjanji, suatu hari akan menemui sang wanita, setidaknya bisa bermalam bersama.
Tiba saatnya untuk memenuhi janjinya. Suasana keluarga juga mendukung. Diapun pamit ke istrinya, karena ada tugas penting yang harus dia selesaikan. Dia memohon agar sang istri untuk tinggal sementara di rumah orang tuanya.
Berangkatlah sang istri yang malang ke rumah ortunya, dan berangkatlah serigala penipu untuk menjemput wanita simpanan idamannya.
Wanita itu berpesan: ‘Saya ingin kita ngobrol sebentar di taman, kemudian nanti baru ke rumah.’ ‘Oke, saya setuju.’ Sambut si Qird.
Sepulang dari taman, keduanya melaju ke rumah Qird yang telah dikosongkan penghuninya. Sesampainya di rumah, ‘Tunggu, tolong carikan makan – minum dulu.’ pinta si wanita.
Keluarlah Qird dengan penuh semangat menuju rumah makan. Setelah membeli beberapa makanan dan minuman, diapun bergegas pulang menuju rumah untuk melampiaskan kenangan indahnya. Segera melaju dengan mobilnya.
“Priii..tt” ternyata mobil Pak polisi telah menghadang.
“Permisi pak, anda melanggar lalu lintas. Anda melanggar lampu merah.” “Parkir mobil anda, dan ikut kami.”
Setelah sampai di kantor polisi, dia minta izin untuk menghubungi teman akrabnya. Berdirilah dia di sudut kantor, dan mulai menghubungi Kalb.
“Sudah… di rumah saya ada tamu istimewa… makan malamnya di mobil. Mobilnya ada di tempat X..” Lanjut, “Ambil makanan itu, antarkan ke rumahku…, dan lanjutkan rencana kita.” “Kalo kamu sudah selesai bersamanya, kembalikan dia ke rumahnya. Saya khawatir istri saya pulang ke rumah, dan terbongkar semua rahasia ini.”
“Siap, santai saja… selama di sana ada yang istimewa.” Jawab Kalb.
Berangkatlah Kalb, teman yang setia ke rumah Qird.
Setelah menjalani proses sidang yang rumit…, akhirnya Qird berhasil keluar kantor polisi. Dia bergegas melaju mobilnya dan menuju rumah..
Apa yang dia jumpai…?? Setelah dia pupus untuk mendapatkan impiannya.
Dia segera menggayuh pintu rumah dan memasukinya. Ternyata istrinya telah di rumahnya. Dan semalam dia bersama teman dekatnya, Kalb. Dia kaget setengah mati, “Kamu saya cerai tiga…, cerai empat…, cerai seribu kali..”
Apa yang bisa anda renungkan dari kisah ini…
Ya, karena zina adalah utang…, taruhannya adalah keluarga anda. Itulah yang dinasehatkan Imam As-Syafii.
Dalam Bait Syairnya beliau mengatakan,
عفوا تعف نساءكم في المحْرَمِ ****وتجنبـوا مـا لايليق بمسلـم
إن الزنـا دين إذا أقرضــته **** كان الوفا من أهل بيتك فاعلم
من يزنِ في قوم بألفي درهم **** في أهله يُـزنى بربـع الدرهم
من يزنِ يُزنَ به ولو بجـداره **** إن كنت يا هذا لبيباً فـافهـم
ياهاتكا حُـرَمَ الرجال وتابعـا**** طرق الفسـاد عشت غيرَ مكرم
لو كنت حُراً من سلالة ماجـدٍ**** ما كنت هتـّـاكاً لحرمة مسلمِ
Maaf, jaga kehormatan para wanita yang menjadi mahram kalian *** Hindari segala yang tidak layak dilakukan seorang muslim.
Sesungguhnya zina adalah utang. Jika kamu sampai berani berutang *** Tebusannya ada pada anggota keluargamu, pahami.
Siapa yang berzina dengan wanita lain dan membayar 2000 dirham *** bisa jadi di keluarganya akan dizinai dengan harga ¼ dirham
Siapa yang berzina akan dibalas dizinai, meskipun dengan tebusan tembok *** jika anda orang cerdas, pahamilah hal ini.
Wahai mereka yang merampas kehormatan keluarga seorang *** dan menyusuri jalan maksiat. Anda hidup tanpa dimuliakan.
Jika anda benar-benar bebas dari belenggu pengikat *** tak selayaknya engkau mencabik kehormatan seorang muslim.

Ternyata Aku Tak Ridlo

Baru saja kulangkahkan kembali kakiku menapaki bancik-bancik ini. Bancik yang selalu setia menemani dan menjadi pijakan santri-santri kala mereka berangkat sekolah atau mengaji. Tapi pikiran semrawut itu telah kembali memenuhi jaringan otakku. Bak virus ganas yang mengobrak-abrik sistem komputer yang tak di-DeepFreeze. Mengurai benang kusut dengan cara membuangnya bukanlah tindakan bijak sama sekali. Segala permasalahan meskinya aku hadapi, bukan aku hindari. “Mana kekuatan bancik yang kamu jadikan sebagai pijakanmu? Atau mungkin mata hatimu telah buta, sehingga tak tahu mana yang bancik dan mana yang ternyata kayu rapuh?” pikiranku kacau.
Aku kadang malu dengan diriku sendiri, apalagi pada orang yang tanpa mereka sadari telah aku bujuk untuk membagi kisahnya dengan sok bijak dalam menghadapi segala masalah. Dan meski aku suka mendengarkan teman-temanku curhat, nyatanya aku sendiri tak pernah berbagi dengan mereka. Hanya lewat tulisan ini aku berkisah. Hanya lewat tulisan ini aku berkeluh kesah. Karena aku yakin kau tak mengenalku. Aku yakin tulisan ini tak akan menimbulkan simpatimu untuk peduli kepadaku. Karena kau tak mengenalku. Bahkan kau bukan orang yang hidup sezaman denganku. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apa gunanya aku harus pulang, jika setalah kembali pun aku tak mendapat jalan keluarnya?
Tapi semestinya tak perlu terlalu banyak aku menyesali apa yang telah aku jalani. Toh menurutku, “Pengalaman, betapa dan bagaimana pun pahitnya, adalah harta termahal yang pernah aku beli.” So, jangan sampai harta termahal itu kubiarkan begitu saja tanpa guna. Sebab dalam kamus hidupku, murah atau mahalnya sesuatu yang aku miliki tergantung atas besar-kecil kegunaannya. Bukan berapa biaya yang harus aku keluarkan. Semakin banyak uang, pengorbanan, dan usaha yang aku keluarkan untuk mendapatkannya, maka harus semakin pintar pula aku menggunakannya, agar aku tak pernah merasa rugi. Begitu juga sebaliknya, semakin banyak aku memanfaatkan harta itu, maka semakin tambah pula aku menghargainya.
Ya, meski pulangku waktu itu mungkin tak ada dampak nyata –mendapat jalan keluar dari pikiran buntuku-, paling tidak aku bisa sejenak lebih tenang sebelum kemudian menanggung beban itu lagi. Persis seperti biasa ketika aku merayu mereka. Hanya sedikit perbedaan bahasa saja.
Aku masih teringat ketika Kak Tina –yang lain pun sebenarnya sama, lagi banyak masalah dan belum mau berbagi denganku. “Lagi kenapa kak? Kayaknya pusing banget!” basa-basiku.
“Kakak lagi banyak pikiran aja dek,” jawabnya datar.
“Ya cerita dong Kak!” pintaku.
“Nggak ah, paling kamu juga Nggak kan ngerti.”
“Cerita aja apa salahnya Kak. Meski nantinya aku nggak bisa ngasih solusi, tapi paling tidak dengan Kakak bercerita, Kakak bisa meletakkan beban itu sejenak sebelum memikulnya kembali. Miskipun beban itu sama, dengan kita meletakkan sejenak dan mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang kita miliki, maka beban yang terasa berat itu akan terasa ringan lagi.”
Seperti biasa, sepusing dan seberat apapun pikiran ini, jika sudah berbicara tentang orang lain, mencoba menganalisa dan memahami masalah yang sedang mereka hadapi, maka seolah-olah aku tak mempunyai beban pikiran. Dan masih seperti biasa pula, sebagus apapun nasehatku, aku masih juga belum bisa menerapkan untuk diriku sendiri. Sampai kapan? Yang jelas aku sudah bosan dengan kondisi ini !
*****
Jika biasanya teman-temanku pulang dan kembali ke pondok dengan membawa buah tangan sekedar menyenangkan teman-teman pondok yang jauh dari makanan istimewa, jauh dari fikiran berfoya-foya dan kesenangan sesaat belaka, kini aku justru membawa setumpuk pikiran yang menambahi bebanku. Aku tak tahu kenapa aku jadi peduli dengan kondisi negaraku saat ini. Bisa jadi bermula dari kabar-kabar dari media masa yang sewaktu di pondok tak pernah aku terima. Dengan jadwal aktifitas di pondok yang begitu padat, aku sendiri memang enggan untuk mengikuti berita lewat teman-temanku yang terbiasa membaca koran. Aku juga enggan mendengarkan gosip-gosip dari teman santri yang tinggalnya di luar arena pondok.
Biasanya aku hanya berfikir dan bingung hendak berbuat apa melihat segala sesuatu yang terjadi di sekitarku. Sebagai senior –walau masih ada yang lebih senior lagi, aku hanya prihatin dengan kebiasaan adik-adik kelasku yang jauh dari apa yang aku lakukan dulu. Tingkat usaha mereka jauh dari setandarku, meski dulu aku juga merasa terpojokkan oleh senior-seniorku menanggapi minimnya  usahaku di mata mereka. Kadang aku berfikir, “Mungkin memang ini yang dijanjikan Nabi, bahwa kurun waktu setelah beliau akan selalu mengalami penurunan.” Tapi bukanlah hidup di pondok itu akan lebih baik dari pada harus di luar?
Fokus pikiranku mulai bercabang melihat ketimpangan di pemerintahan negriku. Aku tak habis pikir, kenapa bagi mereka ijazah, gelar sarjana, dan kertas-kertas semacam itu lebih penting dari pada skill? Kenapa mereka tak bisa melihat bahwa yang lebih tahu persoalan agama adalah insan pesantren bukan mereka yang duduk di universitas? Kenapa dalam urusan agama pun mereka mengangkat pegawai negeri harus dari universitas tanpa melirik alumni pesantren yang lebih intens mempelajari permasalahan agama? Kenapa pula dari dulu pendidikan pesantren masih saja dikucilkan, bukankah pesantren juga berperan dalam rangka mencerdaskan bangsa?
Seribu pertanyaan memenuhi otakku. Ada apa dengan negaraku? Ada apa dengan bumi tanah kelahiranku ini?
Ah, memikirkan polemik negeri ini hanya membuatku emosi. Sudah cukup lama bangsa ini merdeka, tapi masih saja kulihat ketimpangan dimana-mana. Ruh pancasila yang dirancang oleh para pejuang setelah merdekanya bangsa ini dan aku yakin itu juga yang diharapkan pendahulu mereka sampai harus menghempuskan nafas terakhir, belum aku rasakan. Sama sekali belum. Kadang terlintas dalam pikiranku, “Kalau saja nenek moyangku dulu tak mati-matian berjuang demi melihat anak cucunya hidup bahagia, kalau saja pahlawan tidak mengorbankan jiwa raganya demi merdekanya bangsa ini, kalau saja aku tidak terlahir dari rahim seorang ibu yang begitu besar kasih sayangnya, kalau saja ayahku tidak pernah menanamkan rasa kepedulian kepada sesama sejak aku dini, kalau saja guru mengajiku tak pernah mengajari akan arti hubbul wathan dan apa yang semestinya aku persemabahkan untuk tanah kelahiranku, kalau saja… ah..!” aku capek sendiri. Tidak. Aku tidak mau menjadi pecundang yang selalu bersembunyi dibalik fatamorgana yang aku buat sendiri.
*****
Ya Allah, kini aku sadar memang tak sedikit kecerobohan dan kesalahanku. Ya Tuhan, dengan sedikit pengetahuan ini hamba-Mu telah takabbur“Wa ikhfidl janahaka li adzdzuli..”  sungguh aku baru mengerti. Mungkin ini juga yang hendak disampaikan Eyangku kala aku pulang dulu. Teguran yang disampaikan Rumah Tua Eyangku. Aku masih ingat betul bagaimana dengan anehnya Eyangku hanya menertawakanku yang harus terbentur pintu sampai tiga kali. Apalagi tawanya yang terakhir membuatku merasa asing. Seakan aku bukan cucunya yang biasanya selalu dikasihi. Tanpa menghiraukanku, Eyang hanya berujar sambil meninggalkanku yang menahan sakit di bawah bibir pintu, “Ingat dan angan-angan kata Eyangmu tadi le, ‘Yang merasa tinggi harus belajar membungkuk’. Nanti kamu akan paham sendiri.”
Maafkan aku Eyang. Cucumu telah berani berburuk sangka dengan ihwal Eyang. Harus aku akui, selama ini aku sudah merasa mempunyai hidupku sendiri. Aku merasa yang berhak mengatur hidupku adalah aku sendiri. Tidak ada orang lain yang berhak mengaturku, apalagi menghalangi jalan hidupku. Aku adalah aku. Aku tidak butuh orang lain lagi untuk ikut campur urusanku. Yang penting aku tidak merugikan mereka, aku tidak menghalang-halangi keinginan mereka, aku tidak berbuat salah kepada mereka sudah cukup. Aku hanya tak mau diganggu apa yang akan aku lakukan untuk diriku sendiri. Aku tak lagi bisa melihat dengan berbagai sudut pandang. Aku tersudut di tebing sudut pandangku sendiri. Aku terjerat oleh tali yang tak kusadari aku sendiri yang memasangnya.
Kututup mushaf yang sedari tadi menemani kesendirianku. Malam yang sunyi, dengan udara yang begitu sejuk, membelai-belai wajahku yang mulai kusut karena terlalu banyak berfikir. Wajahku yang menua sebelum waktunya. Bisa dimaklumi, sejak kecil aku sudah terbiasa berfikir. Memikirkan apa saja yang ada dihadapanku. Peristiwa yang terjadi di sekelilingku tak pernah luput dari sorotan pikiranku. Aku selalu punya pendapat dengan apa yang terjadi di sekelilingku. Pendapat yang murni dari pikiran polos. Pendapat yang tak pernah aku ketahui dari mana sumber dan dasarnya. Karena aku memang tak begitu suka untuk mengingat dari mana data itu aku peroleh.
Kau jangan tanya, soal analisa –bukan bermaksud sombong- aku selalu lebih tepat dibanding teman-temanku. Meski aku akui keakuratan analisaku, aku sering hanya berhenti di situ. Aku –sampai saat ini- belum bisa berbuat banyak untuk mewujudkan semua yang menjadi impianku. Hasil analisa yang seharusnya aku kerjakan sekarang. Kau sudah tahu masalahnya bukan? Aku baru bisa berangan-angan dan merencanakan. Belum untuk membuktikan dan merealisasikannya.
Suasana…, aku masih saja terjebak dengan suasana. Menyalahkan keadaan yang kurang memungkinkan. Padahal dari dulu aku sudah mencoba untuk menasehati diri sendiri bahkan sudah tak ada lagi celah untuk menyangkal kesimpulanku. Kesimpulan akhirku yang aku anggap sempurna, bahwa apa saja yang aku dan semua orang hadapi tak pantas sama sekali untuk menyalahkan kondisi. Tak sedikit juga cerita orang-orang sukses yang berasal dari keluarga yang tak mampu. Banyak dari keterbatasan mereka yang justru menghasilkan karya yang fenomenal. Dari golongan penulis saja yang masih aku ingat juga tak sedikit. Buya Hamka menyelesaikan Novelnya di tempat pengasingan kurasa juga bukan kondisi yang lebih baik dariku.
Aku juga sangat setuju dengan kaidah fiqh Imam Syafi’i. Simpel tapi aku tak pernah lagi bisa menyangkal dan mengelak dari kebenarannya, “Idza dlaqa al amru ittasa’ wa idza ittasa’a dlaqa.”  Beliau menerangkan hukum suatu permasalahan yang terlalu luas pasti menyempit dan sesuatu yang terlalu sempit pasti meluas. Dan dalam versi Imam al-Ghozaly digubah menjadi, “Idza tajawaaza al almru ‘an haddihi in’akasa ‘ala dliddihi.”  Bahkan aku juga telah membuat bahasa sendiri untuk memudahkan aku memahami dan supaya aku tak berlama-lama menyalahkan kondisi. “Ketika dalam keadaan fasilitas dan waktu yang terbatas kamu tidak bisa menyelesaikannya, maka jangan harap kamu bisa melakukan ketika semua itu ada.”
Lagi-lagi rupanya aku belum bisa mengaplikasikannya untuk diriku sendiri.
*****
Malam ini aku benar-benar merasa tertegur. Terlalu lama aku melihat masalah yang terjadi di sekelilingku dengan dimensi aku yang bebas. Bukan aku sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang selalu tunduk dan patuh dengan segala ketentuan-Nya. Padahal kau sudah tahu bukan, saat aku berbicara dengan orang lain aku juga sering membawa nama Tuhan untuk menguatkan pendapatku. Teman sekelasku saja pernah kena marah dan pemojokan dari ceramah-ceramahku. “Zy, dari kemarin kamu nggak ngerti juga dengan apa yang kumaksud,” aku masih ingat begitu nyata kejadian itu. Seolah opsi terakhir untuk meneruskan persahabatan itu atau mengakhirinya.
Dah gini aja, kamu tidak pernah merasa membohongiku?” terangku. Sebelumnya aku hanya menggunakan bahasa kinayah yang tak dia pahami.
“Maaf, waktu itu hanya bercanda. Tak ada maksud untuk berbohong,” Rozy menerangkan duduk permasalahannya.
“Oke, oke. Sekarang beginikah cara kamu memperlakukan temanmu? Aku tidak menyesalkanmu yang bermaksud bercanda. Yang aku sesalkan, kenapa setelah drama itu selesai, kamu tidak pernah klarifisikan hal itu? Yang lebih menyakitkan lagi, kenapa setelah mereka semua yang terlibat meminta maaf, tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutmu. Bukankan sudah selayaknya jika seorang sahabat lebih dulu memberitahukan bahwa yang dilakukan adalah sebuah candaan sebelum aku tahu dari orang lain yang belum lama aku kenal?” semakin semangat aku memojokkannya.
“Ya udah, aku minta maaf.”
“Enak saja tinggal bilang maaf?”
Lha terus gimana?” Rozy mulai bingung, melihatku yang masih berapi-api.
Aku terdiam sejenak untuk mengendorkan urat-urat sarafku, “Zy, tanpa kamu meminta maaf pun aku sudah memaafkan. Hanya saja jika memang kamu adalah temanku dan aku juga kamu anggap sebagai temanmu semestinya nggak seperti itu. Yang aku ingin hanya ucapan maaf sebagai tanda bahwa aku masih kamu hargai sebagai seorang sahabat. Hanya itu saja,” kukecilkan volume suaraku.
“Makasih ya,” wajahnya mulai riang.
“Nanti dulu,” selaku ditengah senyumnya yang semakin melebar.
“Apalagi salahku,” sebagian wajahnya kembali pucat.
“Semua kejadian itu tidak akan ada artinya jika kita tak pernah mau belajar dengannya. Jika kita pernah bersalah, ya memang porsi kita sebagai manusia, bukan malaikat yang tak pernah berdosa. Tapi jangan berhenti di situ. Kita sebagai makhluk yang dibekali akal juga tak sepantasnya jika sampai terjatuh dilubang sama. Koreksi bersama dulu, kenapa semua itu harus terjadi. Dan kalau aku amati, semua bermula dari cewek bukan?”
“Ingat Zy!,” lanjutku tanpa menunggu respon darinya. “Kita boleh saja punya rasa cinta, tapi jangan sampai mengalahkan segalanya.”
“Aku nggak gitu,” tangkasnya menyelah-nyelahi
“Kalau memang tidak, semestinya kamu tidak akan berbohong hanya karena menuruti keisengan cewek itu. Bukankah Tuhan melarang kita untuk berdusta?”
Aku tersenyum sendiri sekaligus geli mengingat kejadian itu. Mengapa masih begitu sulit untuk memahami diriku sendiri. Bukankah aku sendiri juga melupakan semua? Aku hanya berfikir apa yang terjadi terhadap diriku saja. Padahal dibalik itu semua tak pernah terlepas dari “kerja” Tuhan.
Memang sudah saatnya melakukan relaksasi untuk membenahi sistem otakku yang terkena virus ini. Mudah-mudahan di tempat relaksasi terindah itu aku mendapatkan jwabannya. Kupaksakan kakiku melangkah meninggalkan Gubuk Tua yang telah lama mengurungku dalam kesendirian. Sendiri dalam bertindak, sendiri dalam memutuskan segala persoalanku. Masjid tua pondokku, maafkan atas kealpaanku akhir-akhir ini.
Sungguh tak pernah aku temui kedamaian sedamai di dalam masjid, terutama masjid ini, diantara msjid-masjid yang aku temui. Meski sudah tua dan tanpa kemegahan fasilitas, masjid ini sungguh menyuguhkan relaksasi terdalam. Walau tanpa AC, masjid ini sejuk, bahkan sejuknya menembus relung hati dan mendingikan deras panasnya arus pikiran melaju. Segala pikiran semrawut berangsur-angsur mulai memudar. Menggugah keinginan tidur malam yang selama ini tak lagi aku rasakan
*****
Seng ridlo le! Yang penting sekarang bukan mencemooh dan mencela pemerintahan yang sedang kacau ini. Sudah terlalu banyak orang yang menghina. Banyak orang yang nggak suka. Bukan itu yang dibutuhkan negeri ini. Dan bukan itu pula yang diharapkan oleh Pahlawan dulu. Negeri ini milik kita semua. Bukan milik orang-orang yang berkuasa saja le. Semua orang yang berada di dalam wilayah republik ini harus mempunyai rasa tanggungjawab untuk memenuhi keinginan mereka. Bukan hanya presiden. Bukan hanya mereka yang menduduki jabatan pemerintahan. Tapi semua orang yang merasa sebagai warga Negara ini punya kewajiban yang sama.”
“Ayo dengan kepedulian itu kita majukan bangsa ini. Kita mulai dengan apa yang bisa kita lakukan, bukan apa yang bisa kita omongkan. Ini Negara le, bukan tim sepak bola yang membatasi hanya sebelas orang saja yang boleh bermain. Kita semua punya hak dan kewajiban yang sama untuk membesarkan dan menjaganya. Jangan seperti mahasisiwa-mahasiswa yang sukanya hanya demo. Meski itu baik secara bahwa mereka juga peduli, tapi kepedulian itu seharusnya jangan cuma berhenti di situ. Butuh pengorbanan, butuh perbuatan. Bukan hanya mulut saja yang bicara.”
Antara sadar dan tidak, terdengar suara orang tua menasehatiku. Siapa dia, aku tak tahu. Tapi aku solah sudah akrab dan mengenal suara ini. Kutengok kanan kiri, semua orang masih khusyuk, salat, berdzikir, atau berdoa, seperti semula aku menginjakkan kaki di masjid ini.
Tiba-tiba aku kembali teringat saat temanku, Ika, mengabarkan kapan dia akan menikah dan meminta doa agar semuanya lancar-lancar saja sampai proses pernikahan itu selesai. Tidak seperti bagaimana kebiasaan orang menanggapi dan menjawab pertanyaan yang sama, bahkan juga baru kali itu aku menjawab dengan jawaban yang aneh. Tidak biasa. “Ya mudah-mudahan bisa ridlo dengan apa yang diberikan-Nya dan diridloi-Nya pula,” jawabanku singkat. “Loh yang terpenting dalam hidup ini ‘kan ya itu to?Radlia Allhu ‘anhum wa radluu ‘anhu. Allah meridloi apa yang kita lakukan dan kita bisa ridlo dengan segala kehendak-Nya. Sudah cukup. Jangan terlalu banyak keinginan,” lanjutku setelah dia tampak bingungan dengan jawabanku.
Aliran air mata mengiringi sujudku, “Ya Allah, ampunkan aku. Aku tak bermaksud untuk tak Ridlo dengan semua takdirMu?”