Hikmah adalah barang hilang seorang mukmin, hendaknya dia mengambilnya dimana saja dia mendapatkannya. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
Senin, 04 November 2013
MAUKAH ENGKAU MENIKAHIKU,,,,,?
Gadis itu datang dengan rasa malu yang membuncah di dadanya, kemudian perlahan ia menghampiri pria itu, seorang pria yang gagah lagi tampan, serta idola orang-orang. Gadis itu menundukkan kepalanya lalu berkata, “Aku menyerahkan diriku padamu..”
Siapa gadis itu dan siapa pria itu? Jangan salah paham, penggalan cerita di atas bukan diambil dari novel remaja dan bukan pula dari cerita roman, apalagi cerita ’17 tahun ke atas’. Penggalan cerita di atas bukan fiktif, itu kisah nyata yang dinukil oleh orang-orang mulia nan jujur. Tahukah Anda siapa gadis itu dan siapa pria itu?
Gadis itu adalah seorang shahabiyah*, sedangkan pria itu adalah seorang pemimpin bagi kaumnya, dan selain kaumnya, bahkan pemimpin para utusan ilahi, pemimpin umat manusia, pemimpin makhluk Allah sejagat alam, yaitu Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم . Kelanjutan kisah di atas bisa dilihat di Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Ada apa antara shahabiyah itu dengan Nabi kita? Dia mendatangi beliau untuk menawarkan dirinya untuk dinikahi! Lho memang boleh wanita ‘agresif’ seperti itu? Tentu saja boleh, karena siapa yang melarang wanita untuk ‘agresif’ dalam hal ini? Begitu sangat berdosakah kalau wanita ‘seagresif’ ini?
Kalau itu memang perbuatan dosa dan pelanggaran terhadap syariat Islam, tentu Rasulullah صلى الله عليه وسلم akan menegur shahabiyah tersebut dan beliau juga tentunya akan menjelaskan larangan tentang hal itu kepada para sahabatnya, sebagaimana kebiasaan beliau tatkala menyaksikan kesalahan yang dilakukan beberapa sahabatnya. Akan tetapi, dalam kasus di atas, ternyata tak ada sepatah kata pun yang keluar dari lisan beliau صلى الله عليه وسلم kepada shahabiyah tersebut apakah teguran, nasihat apalagi hardikan atas apa yang diperbuatnya. Sebab kelanjutan dari kisah di atas, setelah beliau memandanginya, beliau terdiam (karena tidak tertarik dengannya). Melihat gelagat seperti itu, sahabat yang ada di sisi beliau berkata dengan penuh semangat, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya, kalau engkau memang tak berminat dengannya.” Di akhir hadits, beliau pun menikahkannya dengan wanita tersebut.
Kalau begitu bukanlah aib dan bukan pula suatu yang dimakruhkan apalagi diharamkan bila seorang wanita menawarkan diri untuk dinikahi kepada pria yang ia pandang baik akhlak dan agamanya. Hanya saja, yang perlu digaris bawahi dan digaris atasi di sini yaitu kalimat untuk dinikahi. Boleh seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang pria untuk dinikahi, bukan untuk dipacari dan bukan pula dicandai apakah dengan alasan “ta’aruf”, “maslahat dakwah” dan lain-lain.
Seorang wanita memang diberi kelebihan, keistimewaan dan kemuliaan oleh Allah berupa sifat malu yang sangat dominan dalam perilakunya, akan tetapi apakah sifat malunya tersebut menghalanginya untuk menggapai kenikmatan yang disyariatkan Allah?
Shahabiyah di atas mencontohkan kepada kita, betapapun lekatnya sifat wanita pada dirinya dan betapapun besarnya rasa malu yang ada pada dirinya, itu tidak menghalanginya untuk mendapatkan apa yang dihalalkan untuknya oleh Rabbnya.
Di satu sisi ia ‘nekat’ dan ‘agresif’, akan tetapi di sisi lain ia adalah seorang shahabiyah yang tentunya lebih mulia, lebih suci hatinya, lebih banyak ibadahnya dan lebih menjaga kehormatan daripada wanita manapun, dan dimanapun setelah masanya. Ia termasuk deretan wanita-wanita terbaik umat ini, sangat jauh melampaui kita! Nabi kita bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku (Para sahabat dan shahabiyah) kemudian setelahnya (tabi’in) kemudian setelahnya(tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari Muslim)
Jadi termasuk cara yang diperbolehkan oleh islam bagi wanita untuk mendapatkan jodoh adalah dengan menawarkan dirinya kepada pria yang disukainya. Dan itu termasuk bentuk ikhtiar yang diperbolehkan dalam Islam.
Sebab, jodoh itu tidak bisa didapatkan hanya dengan menengadahkan tangan ke langit dan tidak cukup pula dengan menghiasi malam-malam dengan air mata yang terurai di tempat sujud. Sebab, “langit itu tidak menurunkan hujan berupa emas”. Demikian kata mutiara dari sahabat Nabi yang mulia, yaitu ‘Umar bin Khaththab. Kata ini keluar dari lisannya tatkala menyaksikan seorang yang seolah-olah ingin mendapatkan rezeki akan tetapi ia hanya menyibukkan dirinya dengan ibadah di masjid dan tidak bekerja.
Demikian pula, untuk menggapai jodoh tak cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan kita sendiri atau bantuan orang lain, tanpa mengingat bahwa di tangan-Nya lah jodoh seluruh makhluk. Bila Dia berkehendak untuk memberikan jodoh kepada seorang hamba, maka Dia akan memberinya walaupun ia ‘lari’ darinya. Sebaliknya, kalau Dia tak menghendaki, maka jodoh tak akan ia temukan meskipun ia berusaha mencarinya ke seluruh penjuru dunia, menembus laut, membelah gunung. Jodoh itu di tangan-Nya.
Oleh karena itu, dalam menjalankan segala usaha, di antaranya mencari jodoh, seorang muslim dan muslimah dituntut menjalankan dua hal : berikhtiar dengan mencari dan menjemputnya, kemudian bertawakkal kepada-Nya dengan berdoa dan menyerahkan hasilnya kepada-Nya.
Jadi jika seorang wanita telah mengerahkan segala usahanya untuk mencari jodoh (di samping dengan berdoa kepada Allah juga tentunya), entah dengan dijodohkan orang tua, atau dengan perantara comblang atau cara lainnya yang tidak melanggar syariat, akan tetapi belum pula mendapatkannya, kenapa tidak coba saja cara yang ditempuh shahabiyah di atas? Itu salah satu bentuk ikhtiar yang diperbolehkan, siapa tahu melalui sebab itu Allah mengantarkannya menuju pelaminan. Bukankah itu lebih baik daripada waktu memakannya hari demi hari?
Maka, tak mengapa, meskipun darahmu berdesir, hatimu bergetar, tubuhmu menggeletar, cobalah datangi pria saleh itu, katakanlah, “Akh/ Mas/ Bang/ Kang, maukah kamu menikahiku?”
blitang, 1 muharam 1433/06 November 2013
*Shahabiyah adalah wanita yang hidup di zaman Nabi, pernah bertemu dengan beliau dan beriman kemudian ia mati di atas islam. Shahabiyah itu dikategorikan sebagai sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم yang tentunya memilki keutamaan yang banyak lagi mulia dan itu telah banyak disebutkan dalam kitab-kitab aqidah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar